Hadiah Natal Buat Tuhan
Renungan Kristen Sehari-hari
Hadiah Natal Buat Tuhan
Oleh : Muga Nayar
Desember sudah tiba. Gema Natal semakin dekat. Gemerlap lampu kelap-kelip menghiasi pohon cemara plastik di sudut ruang tamu mungil. Sayup terdengar tembang Noel mengiringi lampu-lampu kecil terang bagai lilin di malam hari. Sejuk rasa hati teringat masa kecil di kampung yang permai.

Sheila baru saja duduk di depan televisi, ketika terdengar dari dalam kamar Raka, anaknya yang baru berumur tujuh tahun, sedang berdoa. Buat Shiela apa yang diucapkan bocah yang duduk di kelas satu sekolah dasar dalam doanya itu bukanlah hal aneh lagi. Tapi tidak bagi orang lain yang mendengarnya.

Bulan lalu Retha, adiknya yang tinggal di Surabaya, datang berkunjung ke rumahnya, terheran-heran mendengar Raka berdoa. Ia bahkan sampai terbahak-bahak hingga matanya berair.
"Namanya juga anak SD. Jadi, doanya juga ala anak SD dong," Shiela membela.
"Bukan maksudnya ngeledek, tapi saya benar-benar kagum. Anak sekecil Raka sudah biasa berdoa sendiri."

Shiela mengecilkan suara televisi yang sedang memutar final Indonesian Idol, dan mencoba menyimak doa Raka.
"Tuhan, kemarin 'kan Raka cerita kalau Raka punya kawan baru di sekolah. Namanya Bunga. Itu loh Tuhan, yang rambutnya keriting. Ternyata bapaknya sopir angkot, Tuhan ..."
Shiela yang sedang minum langsung tersedak, saking kagetnya.
"Oh iya Tuhan, boleh nggak Raka minta Bandung dijadikan ibu kota negara Indonesia. Soalnya, tadi waktu ulangan sejarah, Raka jawab Bandung yang jadi ibukota negara Indonesia. Harusnya 'kan Jakarta, tapi Raka lupa ..."
Untuk kedua kalinya Shiela menyemburkan air dari mulutnya. Ia berlari ke dapur, menumpahkan tawanya.
***

"Mah ... Mamah, bangun Mah, sudah pagi."
Shiela membuka matanya. Didapatinya Raka berdiri di samping tempat tidurnya dengan seragam sekolah.
"Ya ampun, Sayang. Mama kesiangan, jadi lupa buatin sarapan buat kamu."
Shiela meraih anaknya, lalu dipeluknya erat.
"Udah Mah, tadi dibuatin Mbak Hani."
"Oya? Emangnya dibuatin sarapan apa sama Mbak Hani?" Shiela menatap wajah anaknya lekat.
"Susu cokelat sama sereal."
"O ... ya sudah. Yuk, Mama antar ke sekolah."
"Iya Mah, tapi Raka berdoa dulu ya ..."

Shiela tersenyum, lalu dibimbingnya Raka masuk ke dalam kamarnya, dan dia sendiri bergegas ke kamar mandi. Langkahnya terhenti ketika terdengar dari dalam kamar. Anaknya berdoa.

"Tuhan, Raka baru saja bangunin Mamah. Hari ini Mamah kesiangan, jadi nggak sempat bikin sarapan buat Raka. Besok pagi, Tuhan kalau Mamah Raka tidak bangun pagi lagi, siram aja dengan air ..."
Sialan! Rutuk Shiela, lalu masuk ke kamar mandi.

"Tuhan, Raka harus ke sekolah dulu ya. Nanti malam Raka cerita lagi. Tapi, jangan bosan ya Tuhan ? Kalau Tuhan bosan dengar cerita Raka, nanti Raka cerita ke siapa lagi? Raka 'kan nggak punya adik. Abah Raka suka pulang malam, jam segini pasti sudah berangkat ke kantor, habis kantor Abah Raka jauh sih. Kadang-kadang Raka juga sebel sama Abah, habis pulangnya suka malam. Tapi nggak papa Tuhan, biar Raka bisa maen sepuasnya sepulang sekolah. Abah suka nyuruh-nyuruh Raka bobo siang. Jagain Raka ya Tuhan Yesus, Amin."
***

Suara loncenga bedentang merdu. Alunan lagu Natal kembali bergema. Sheila baru saja mendapat telepon dari Alex, suaminya yang kini sedang tugas belajar di luar negeri. Hatinya berbunga-bunga mendapat berita bahwa Alex akan pulang dan merayakan Natal bersama mereka.

"Mah, kapan Abah pulang ?"
Dengan tersenyum disampaikannya kabar baik bahwa abahnya akan pulang merayakan Natal bersama.
"Hore, Abah pulan!" Sambut Raka sambil melompat.
"Kangen ya sama Abah?" Goda Shiela.
"Nggak. Raka pegen mainannya aj."
Tapi dari sorot matanya, Shiela tahu kalau Raka kangen berat dengan abahnya. Tapi Raka tidak mengaku, karena sering diledekin cengeng sama abahnya.
"Kok belum bobo, Nak?"
"Sebentar lagi, Raka lagi menggambar."
"Oya, gambar apa? Boleh nggak Mamah liat?"
Raka berlari ke kamarnya, kemudian muncul sambil membawa kertas di tanggannya.
"Gambar apa sih?" Tanya Shiela ketika anaknya sudah duduk di sebelahnya.
Lalu bertanya lagi, "Ini gambar siapa?"
"Mamah."
"Ini?"
"Abah."
"Ini?" Tanya Shiela cepat.
"Oh ... ini Tuhan."
Shiela mengganguk sok mengerti.
"Ya udah, sana bobo. Nanti terlambat ke sekolah besok pagi mamah janji bangunnya lebih pagi, oke?"
"Oke Mah ..."
***

"Tuhan, terima kasih ya atas hari ini. Pasti Tuhan lagi sayang sama Raka soalnya tumben hari ini Raka nggak dimarahin sama Bu Guru. Tuhan, tadi siang Rudi, teman Raka, berkelahi sama Roni. Kasihan deh Tuhan, hidungnya sampai berdarah. Lalu Roni dihukum sama Bu Guru, disuruh nyuci kamar mandi sendirian. Oya Tuha, lindungi Abah Raka. Raka kangen ... sama Abah. Jelek-jelek gitu 'kan abah Raka ..."
Dari balik pintu Shiela mendengarkan dengan seksama. Biasanya ajang seperti ini digunakan Shiela untuk mengetahui keadaan Raka di sekolah. Hatinya sempat trenyuh ketika abahnya disebut-sebut. Raka memang bukan tipe anak manja. Ini mungkin hasil didikan abahnya yang memang tidak mau terlalu memanjakan anak, walau dia tahu persis Alex sangat menyanyangi anaknya.
***
Dua hari lagi Natal tiba. Rasanya semakin sibuk saja. Bikin kue. menyiapkan kado untuk anak-anak yatim piatu, mengecat rumah. Untungnya Alex datang. Jadi lumayan, bisa berbagi tugas. Semangat Natal bebar-benar menyedot perhatian Shiela dan suaminya. Maklum, biasanya momentum seperti ini digunakan oleh orangtua, kerabat, saudara dan handai taulan datang berkunjung. Jangan sampai ketika mereka datang, tidak ada persiapan. Biasanya hal ini akan menjadi bahan omongan. Pengamalan ini dapat didapat Shiela Natal tahun lalu. Saat itu seorang tante mereka tidak ada persiapan sama sekali menyambut Natal, sehingga ketika keluarga berdatangan, kue-kue yang bisanya disuguhkan bagi para tamu tidak nampak di atas meja. Kalau sudah begini, biasanya beritanya cepat menyebar. Walaupun bagi Shiela hal tersebut bukan sesuatu yang harus dipersoalkan. Yang penting, baginya, semangat Natal yang membawa berkat bagi semua insan di muka bumi ini.
Saking sibuknya, sampai-sampai mereka tidak memperhatikan Raka yang sibuk sendiri di dalam kamar tidurnya. Dia tampak gelisah seperti sedang menunggu seseorang. Hampir tiap lima menit dia melihat jam dinding Mickey Mouse di dalam kamarnya. Tapi akhirnya dia berlutu di sisi tempat tidur, lalu mengambil posisi berdoa.
"Tuhan, besok 'kan Natal. Kira-kira Tuhan ingin kado Natal seperti apa? Tapi, jangan terlalu mahal ya, uang Raka 'kan sedikit, Oya Tuhan, hari ini Raka ada janji mau cari hadiah di pasar sama Rudi, teman Raka, tapi sepertinya dia nggak datang. Sekarang sudah hampir siang, mending Raka berangkat sekarang aja ya Tuhan. Tapi, maafin Raka, takut nanti dikira ingkar janji. Janji 'kan utang, ya Tuhan? Nanti Raka berdosa. Maafin Raka, ya Tuhan. Amin."
Lantunan lagu Natal mengalun lembut, mengisi ruang di rumah mungil nan indah itu. Lampu kerlap-kerlip bagai bintang di malam pekat. Ketika itu waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Kegelisahan tampak di raut wajah Shiela dan Alex. Sebentar-sebentar mereka memandang jam dinding di ruangan itu. SUdah beberapa nomor telepon mereka hubungi, tapi tidak seorang pun yang tahu keberadaan Raka.
"Tenanglah, Ma, tidak akan terjadi apa-apa Anak itu tahu apa yang harus dilakukan," Alex berusaha menghibur istrinya, tepatnya menghibur dirinya sendiri.
Seharusnya mereka tidak terlalu gelisah, karena Raka sudah biasa pergi sendirian tanpa ditemani pengasuhnya. Apa lagi Hani, sang pengasuh, sedang pulang kampung untul bernatalan dengan keluarganya. Tapi, kalau pun pergi biasanya jam segini sudah ada di rumah.
"Iya. Saya sih percaya aja Bang, tapi nggak biasanya jam segini belum pulang."
"Nah, aku ingat sekarang. Tadi malam kamu dengar dia berdoa tidak?" Alex seakan tahu jawabannya.
Shiela mengerutkan keningnya.
"Yah, aku ingat. Dia 'kan harusnya pergi dengan Rudi mencari hadiah Natal buat acara kado silang di sekolah minggu nanti."
Dengan sigap, Shiela berlari menuju meja telepon.
"Halo, selamat malam, bisa bicara dengan Rudi?" Suara Shiela terdengar serak.
"Ini, siapa?" terdengar suara di seberang.
"Ini Rudi ya? Ini mamanya Raka. Raka Ada di situ ?" Shiela bertanya tak sabar.
"Raka ? Memangnya Raka mau ke sini Tante?"
"Kan, katanya Rudi mau pergi sama Raka nyari hadiah Natal. Tapi, sampai sekarang, kok Raka belum pulang ya?"
"Nggak kok Tante. Kami nggak jadi pergi, soalnya Rudi lagi sakit perut, tapi sekarang sudah sembuh."
Shiela dengan lemas meletakkan gagang telepon, sambil menatap sedih wajah Alex yang dengan tegang berdiri di sebelahnya. Alex hanya menunduk, lalu perlahan berkata, "Kalau sejam lagi masih belum pulang, kita laporkan polisi saja."
Shiela akhirnya tak dapat menahan rasa sedihnya. Tangisnya pun pecah. ALex memeluk erat tubuh mungil Shiela, mencoba memberikan kekuatan dan ketabahan. Shiela tidak dapat membayangkan sesuatu yang buruk menimpa anaknya. Seperti yang didengarnya dari berita televisi, akhir-akhir ini banyak aksi penculikan anak. Biasanya mereka meminta uang tebusan tidak sedikit, tapi kalau hanya itu yang terjadi, Shiela tidak akan mempermasalahkannya. Berapapun yang diminta penculik pasti akan diusahakan asalkan anaknya kembali. Tapi, kalau ceritanya lain, misalnya pembunuhan dan pemerkosaan terhadap anak dibawah umur, yang tidak hanya menimpa anak perempuan, ih... membayangkannya saja Shiela tidak sanggup.
"Bang, bagaimana ini ...? Shiela menatap suaminya.
Tanpa berkata apa pun, Alex langsung meraih telepon yang ada di hadapannya.
"Halo, selamat malam. Ini kantor polisi?"
"Siap! Betul Pak, ada yang bisa kami bantu?"
"Begini Pak Polisi, anak saya berusia sekitar tujuh tahun, pergi dari rumah tadi pagi. Tapi hingga saat ini belum kembali, Pak. Mungkin ada informasi tentang anak tersesat yang mungkin anak kami?"
"Hmm, sabar Pak. Bisa kami tahu ciri-ciri anak itu?"
Alex melirik ke arah Shiela sebentar, kemudian memberikan gambaran fisik Raka secara detail, mulai dari rambut, tinggi badan dan warna kulit.
"Begini, Paka, Baru satu jam yang lalu ..."
"Ya Pak. Bagaimana Pak?" Alex bersemangat.
"E ee... kami mendapat laporan ..."
"Ya Pak, laporan apa Pak?" Alex merapatkan gagang telepon ketlingany. Dan di sampingnya Shiela berdiri merapatkan telinga.
"Telah terjadi kecelakaan yang menimpa seorang pejalan kaki. Pejalan kaki tanpa identitas itu memiliki ciri yang mirip dengan anak yang bapak gambarkan."
"Di mana anak itu sekarang, Pak?" Alex sekarang benar-benar tidak sabar lagi. Suaranya meninggi, "Di rumah sakit mana?"
Alex segera, menyuruh istrinya bersiap-siap menuju rumah sakit yang dimaksud. Tanpa banyak membuang waktu, mereka segera berangkat. Sepanjang perjalanan tak henti-henti Shiela berdoa, semoga anak yang dimaksud polisi itu bukan Raka.
***
Banyak sekali orang berkerumunan di depan ruang ICU. Nampak beberapa polisi berpakaian dinas berdiri di situ.
"Maaf, Bapak dan Ibu ini siapa?" Tanya petugas, ketika mereka hendak menerobos kerumunan yang ingin melihat apa yang terjadi.
"Kami adalah orang tua yang kehilangan anak. Kami ingin tahun apakah anak yang ada di dalam situ .." Alex berkata sambil matanya menerobos ke dalam ICU.
"Tunggu sebentar Pak ..." Lalu petugas tadi berbicara melalui alat komunikasi ditangannya.
"Baik, Pak silakan masuk. Nanti ada petugas kami yang akan menemani Bapak dan Ibu di dalam sana."
Tubuh Shiela langsung terkulai lemas ketika melihat sosok kecil di atas pembaringan di dalam ruangan itu. Darah berceceran di mana-mana. Tampak seorang dokter melepaskan kabel-kabel peralatan medis dan selang infus yang tadinya menempel di tubuh Raka.
"Maaf, kami sudah berusaha menyelamatkaannya sejak satu jam yang lalu, tapi pendarahan yang begitu hebat menyebabkan kematiannya," kata dokter tersebut begitu tahu bahwa Shiela dan Alex adalah orang tua anak malang tersebut.
Shiela langsung tersungkur di depan tubuh Raka. Isak tangisnya memilukan. Alex pun tak dapat menahan air mata. Mereka berdua memeluk tubuh mungil yang mulai dingin. Semua yang ada disana tertunduk haru. Bahkan seorang Ibu, yang tadinya mengira anaknya yang tertimpa musibah, tak kuasa menahan tangis, seakan bisa merasakan kesedihan Shiela dan Alex. Dokter tadi perlahan menarik tubuh Alex dan menepuk-nepuk bahunya, memberikan rasa simpati.\
"Maaf Ibu, maaf Bapak," seorang suster yang mengurus jenazah tiba-tiba berkata, "Saya menemukan ini dalam genggaman anak Andak."
Ia menyerahkan secarik kertas bernoda darah.
Sambil menyapu air matanya, Shiela meraih kertas tersebut, lalu dibuka perlahan dan dibacanya. Setelah itu isa tangisnya meledak. Ia memeluk Alex. Sambil terisak, ia berkata, "Dia tahu Tuhan sangat mencintainya."
Perlahan, Alex pun mengambil kertas tersebut dari genggaman istrinya dan membacanya.
"Tuhan Yesus yang baik, maafkan Raka. Raka sudah berkeliling mencari hadiah yang terbaik buat Tuhan, namun Raka tidak menemukannya. Tapi, bila Tuhan suka sama Raka, ambilah Raka sebagai hadiah Natal buat Tuhan. Selamat Hari Nata."
(Mengenang wafatnya Maragah Suka Dharma)
(Sumber : Majalah Kartini edisi tahun 2005)
1 Response
  1. admin Says:
    Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.