Renungan Kristen Sehari-hari
Suatu malam, seorang wanita berusia 20-an tahun bertengkar dengan ibunya. Karena sangat marah, ia segera meninggalkan rumah tanpa membawa apapun. Saat berjalan ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tidak membawa uang.Saat menyusuri sebuah jalan, ia melewati sebuah kedai bakmi dan ia mencium harumnya aroma masakan. Ia ingin sekali memesan semangkuk bakmi, tetapi ia tidak mempunyai uang.
Pemilik kedai melihat si anak berdiri cukup lama di depan kedainya, lalu berkata: “Nona, apakah engkau ingin memesan semangkuk bakmi?”
“Ya, tetapi, aku tidak membawa uang”, jawab si wanita dengan malu-malu.
“Tidak apa-apa, aku akan mentraktirmu”, jawab si pemilik kedai. “Silakan duduk, aku akan memasakkan bakmi untukmu”.
Tidak lama kemudian, pemilik kedai itu mengantarkan semangkuk bakmi.
Si wanita segera makan beberapa suap, kemudian air matanya mulai berlinang.
“Ada apa nona?”, tanya si pemilik kedai.
“Tidak apa-apa”, aku hanya terharu jawab wanita itu sambil mengeringkan air matanya.
“Bahkan, seorang yang baru kukenal pun memberi aku semangkuk bakmi ! Tetapi, ibuku sendiri, setelah bertengkar denganku, mengusirku dari rumah dan mengatakan kepadaku agar jangan kembali lagi. Kau, seorang yang baru kukenal, tetapi begitu peduli denganku dibandingkan dengan ibu kandungku sendiri”, katanya kepada pemilik kedai.
Pemilik kedai itu setelah mendengar perkataannya, menarik nafas panjang lalu berkata:
“Nona, mengapa kau berpikir seperti itu? Renungkanlah hal ini, aku hanya memberimu semangkuk bakmi dan kau begitu terharu. Ibumu telah memasak bakmi dan nasi untukmu saat kau kecil sampai saat ini, mengapa kau tidak berterima kasih kepadanya? Dan kau malah bertengkar dengannya”. Si wanita terhenyak mendengar hal tsb.
“Mengapa aku tidak berpikir tentang hal itu? Untuk semangkuk bakmi dari orang yang baru kukenal , aku begitu berterima kasih. Tetapi kepada ibuku yg memasak untukku selama bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihatkan kepedulianku kepadanya. Dan hanya karena persoalan sepele, aku bertengkar dengannya”.
Dia segera menghabiskan bakminya, lalu ia menguatkan dirinya untuk segera pulang ke rumahnya. Saat berjalan ke rumah, ia memikirkan kata-kata yg harus diucapkan kepada ibunya. Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia melihat ibunya berwajah letih dan cemas. Ketika bertemu dengannya, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah,”Nak, kau sudah pulang. Cepat masuklah, Ibu telah menyiapkan makan malam. Makanlah dahulu sebelum kau tidur. Makanan akan dingin jika kau tidak memakannya sekarang”.
Pada saat itu si wanita tidak dapat menahan tangisnya. Ia pun menangis di pelukan ibunya.
Sekali waktu, kita mungkin akan sangat berterima kasih kepada orang lain di sekitar kita untuk suatu pertolongan kecil yang diberikan kepada kita. Tetapi kepada orang yang sangat dekat dengan kita, khususnya orang tua kita, kita harus ingat bahwa kita berterima kasih kepada mereka seumur hidup kita. Kadang-kadang, kita sulit atau lebih tepatnya tidak mau untuk melihat dan menghargai pertolongan yang diberikan oleh orang-orang yang sudah sangat kita kenal. Untuk menghargai cinta kasih mereka. Kita menganggap itu sebagai suatu keharusan. Sebuah kewajiban.
Kasih Ibu
(SELAMAT HARI IBU)
Suatu malam, seorang wanita berusia 20-an tahun bertengkar dengan ibunya. Karena sangat marah, ia segera meninggalkan rumah tanpa membawa apapun. Saat berjalan ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tidak membawa uang.Saat menyusuri sebuah jalan, ia melewati sebuah kedai bakmi dan ia mencium harumnya aroma masakan. Ia ingin sekali memesan semangkuk bakmi, tetapi ia tidak mempunyai uang.
Pemilik kedai melihat si anak berdiri cukup lama di depan kedainya, lalu berkata: “Nona, apakah engkau ingin memesan semangkuk bakmi?”
“Ya, tetapi, aku tidak membawa uang”, jawab si wanita dengan malu-malu.
“Tidak apa-apa, aku akan mentraktirmu”, jawab si pemilik kedai. “Silakan duduk, aku akan memasakkan bakmi untukmu”.
Tidak lama kemudian, pemilik kedai itu mengantarkan semangkuk bakmi.
Si wanita segera makan beberapa suap, kemudian air matanya mulai berlinang.
“Ada apa nona?”, tanya si pemilik kedai.
“Tidak apa-apa”, aku hanya terharu jawab wanita itu sambil mengeringkan air matanya.
“Bahkan, seorang yang baru kukenal pun memberi aku semangkuk bakmi ! Tetapi, ibuku sendiri, setelah bertengkar denganku, mengusirku dari rumah dan mengatakan kepadaku agar jangan kembali lagi. Kau, seorang yang baru kukenal, tetapi begitu peduli denganku dibandingkan dengan ibu kandungku sendiri”, katanya kepada pemilik kedai.
Pemilik kedai itu setelah mendengar perkataannya, menarik nafas panjang lalu berkata:
“Nona, mengapa kau berpikir seperti itu? Renungkanlah hal ini, aku hanya memberimu semangkuk bakmi dan kau begitu terharu. Ibumu telah memasak bakmi dan nasi untukmu saat kau kecil sampai saat ini, mengapa kau tidak berterima kasih kepadanya? Dan kau malah bertengkar dengannya”. Si wanita terhenyak mendengar hal tsb.
“Mengapa aku tidak berpikir tentang hal itu? Untuk semangkuk bakmi dari orang yang baru kukenal , aku begitu berterima kasih. Tetapi kepada ibuku yg memasak untukku selama bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihatkan kepedulianku kepadanya. Dan hanya karena persoalan sepele, aku bertengkar dengannya”.
Dia segera menghabiskan bakminya, lalu ia menguatkan dirinya untuk segera pulang ke rumahnya. Saat berjalan ke rumah, ia memikirkan kata-kata yg harus diucapkan kepada ibunya. Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia melihat ibunya berwajah letih dan cemas. Ketika bertemu dengannya, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah,”Nak, kau sudah pulang. Cepat masuklah, Ibu telah menyiapkan makan malam. Makanlah dahulu sebelum kau tidur. Makanan akan dingin jika kau tidak memakannya sekarang”.
Pada saat itu si wanita tidak dapat menahan tangisnya. Ia pun menangis di pelukan ibunya.
Sekali waktu, kita mungkin akan sangat berterima kasih kepada orang lain di sekitar kita untuk suatu pertolongan kecil yang diberikan kepada kita. Tetapi kepada orang yang sangat dekat dengan kita, khususnya orang tua kita, kita harus ingat bahwa kita berterima kasih kepada mereka seumur hidup kita. Kadang-kadang, kita sulit atau lebih tepatnya tidak mau untuk melihat dan menghargai pertolongan yang diberikan oleh orang-orang yang sudah sangat kita kenal. Untuk menghargai cinta kasih mereka. Kita menganggap itu sebagai suatu keharusan. Sebuah kewajiban.
Renungkanlah:
Kapan kita terakhir kali menelpon Ibu ?
Kapan kita terakhir mengundang Ibu ?
Kapan terakhir kali kita mengajak Ibu jalan2 ?
Dan kapan terakhir kali kita memberikan kecupan manis dgn ucapan terima kasih kepada Ibu kita ?
Dan kapankah kita terakhir kali berdoa untuk Ibu kita ?
Berikanlah kasih sayang selama Ibu kita masih hidup, percuma kita memberikan bunga maupun tangisan apabila Ibu telah berangkat, karena Ibu tidak akan bisa melihatnya lagi.
When Mother prayed, she found sweet rest,
When Mother prayed, her soul was blest;
Her heart and mind on Christ were stayed,
And God was there when Mother prayed!
Our thanks, O God, for mothers
Who show, by word and deed,
Commitment to Thy will and plan
And Thy commandments heed.
A thousand men may build a city, but it takes a mother to make a home.
Kapan kita terakhir kali menelpon Ibu ?
Kapan kita terakhir mengundang Ibu ?
Kapan terakhir kali kita mengajak Ibu jalan2 ?
Dan kapan terakhir kali kita memberikan kecupan manis dgn ucapan terima kasih kepada Ibu kita ?
Dan kapankah kita terakhir kali berdoa untuk Ibu kita ?
Berikanlah kasih sayang selama Ibu kita masih hidup, percuma kita memberikan bunga maupun tangisan apabila Ibu telah berangkat, karena Ibu tidak akan bisa melihatnya lagi.
When Mother prayed, she found sweet rest,
When Mother prayed, her soul was blest;
Her heart and mind on Christ were stayed,
And God was there when Mother prayed!
Our thanks, O God, for mothers
Who show, by word and deed,
Commitment to Thy will and plan
And Thy commandments heed.
A thousand men may build a city, but it takes a mother to make a home.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Mohon ijin untuk kami muat dalam buletin di gereja kami